Senin, 25 April 2016

SEPUTAR CAGAR BUDAYA JAWA TENGAH

Situs Watu Kandang Matesih :
Awal dari Sebuah Religi


Terletak di Dusun Ngasinan, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar. Berada pada posisi 04°14’46” BT dan 07°3’97” LS, pada ketinggian ±500 m dpl di daerah persawahan dan dilewati Sungai Samin serta berada di tepi jalan raya menuju Mangadeg dan Tawangmangu. Di sebelah timur Situs terdapat Gunung Bangun dan Gunung Banoman, sebagaimana diketahui bahwa bangunan peninggalan tradisi Megalitik sebagian besar mengarah ke arah gunung.
Situs Watu Kandang Matesih merupakan bangunan yang berasal dari masa Prasejarah. Para ahli arkeologi berpendapat bahwa Situs Watu Kandang Matesih diperkirakan  berasal dari masa Megalitik Tua dan tetap berkembang hingga abad XII M berdasarkan temuan yang ada. Megalitik merupakan sebuah tradisi yang didasarkan pada kepercayaan adanya kehidupan setelah mati atau adanya hubungan antara orang yang masih hidup dengan yang sudah mati. Pendirian bangunan Megalitik lain dimaksudkan sebagai media penghubung antara roh nenek moyang dengan orang yang masih hidup.

Situs Watu Kandang Matesih berupa bangunan temu gelang (stone enclosure), yaitu sekelompok batu (menhir) yang disusun dalam bentuk formasi temu gelang. Formasi ini oleh penduduk setempat sering disebut dengan istilah watu kandang. Struktur batu temu gelang yang ada di Situs Matesih terdiri dari beberapa variasi bentuk, seperti persegi panjang, oval, dan tidak beraturan. Ukurannya ada yang besar (panjang atau diameter lebih dari 150 cm) dan ada pula yang berukutan kecil (panjang atau diameter kurang dari 150 cm).
Selain struktur berupa bangunan temu gelang, di Situs Matesih juga ditemukan beberapa menhir (batu tegak yang didirikan sebagai lambang arwah nenek moyang) dan tahta batu atau sering pula disebut dengan kursi batu (yaitu bangunan menyerupai kursi terdiri dari bagian sandaran dan alas yang disusun dari lempengan-lempengan batu).

Penelitian

Pada tahun 1967 Drs. Soekatno dari LPPN (sekarang Direktorat Peninggalan Purbakala) melaporkan adanya Situs Ngasinan. Tanggal 23 Desember 1967 LPPN melakukan peninjauan terhadap kebenaran laporan tersebut dan terbukti bahwa laporan tersebut benar dan sejak saat itu dilakukan banyak penelitian terhadap Situs tersebut. Bulan Juli 1968 dilakukan pemetaan, penggambaran, pemotretan, survey dan ekskavasi percobaan oleh LPPN. Bulan Agustus 1969 kembali dilakukan ekskavasi dan ditemukan manik-manik dan pecahan gerabah. Tahun 1977 penelitian kembali dilakukan oleh Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala DIY (sekarang Balai Arkeologi Yogyakarta)dengan hasil fragmen gerabah, manic-manik, fragmen keramik Cina dari abad XII M, arang, dan fragmen besi, dan lempengan emas.


Petugas BPCB Jateng di Situs Watu Kandang Matesih

Candi Sukuh : Simbol Menuju Kesempurnaan

Candi Sukuh : Simbol Menuju Kesempurnaan


Candi Sukuh terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Berada di lereng barat Gunung Lawu pada 910m dpl, membuat komplek tersebut memiliki pemandangan indah.



Komplek Candi Sukuh ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Residen Surakarta, Johnson. Van der Vlis pada tahun 1842 melanjutkan studi mengenai Candi Sukuh dan memuatnya dalam sebuah buku berjudul Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Tahun 1864-1867 Hoopermans menulis buku berjudul Hindoe Oudheiden van Java. Inventarisasi di Candi Sukuh dilakukan oleh Verboek tahun 1889 dilanjutkan oleh Knebel pada tahun 1910. Peneliti lndonesia yang tertarik pada Komplek Candi Sukuh antara lain Ph. Soebroto, Riboet Darmosutopo, Y. Padmopuspito, dan Harry Truman Simanjuntak. 
Deskripsi Bangunan

Komplek Candi Sukuh didirikan pada abad ke-15 M, pada masa pemerintahan Suhita, ratu Majapahit yang memerintah tahun 1429-1446.  Komplek candi menghadap ke barat dengan susunan halaman terdiri dari tiga teras atau halaman. Ketiga teras tersebut melambangkan tingkatan menuju kesempurnaan. Relief yang terdapat di komplek tersebut juga melambangkan ketiga dunia, yaitu dunia bawah dilambangkan dengan relief Bima Suci; dunia tengah dilambangkan dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala; dunia atas dilambangkan dengan relief Swargarohanaparwa. Penggambaran ketiga dunia pada relief-relief tersebut menunjukkan tahapan yang harus dilalui manusia untuk mencapai nirwana.

Secara keseluruhan pola halaman dan penggambaran relief merupakan simbol menuju keabadian atau kesempurnaan yang diwujudkan melalui upacara keagamaan atau ruwat, yaitu sebagai sarana untuk menaikkan derajat seseorang kepada tingkatan yang lebih suci, yaitu hilangnya mala dari dalam diri atau moksa. 

Halaman I
Merupakan teras paling bawah, berbentuk persegi dan terdapat gapura masuk. Halaman ini merupakan bagian profan, dimana peziarah diingatkan pada kehidupan yang tidak mudah. Kesulitan dalam hidup disebabkan oleh melekatnya mala dalam diri manusia, pahatan relief Garudeya merupakan salah satu cara mengingatkan betapa sulitnya kehidupan.

Halaman II
Berbentuk huruf  L dan terdapat gapura yang lebih kecil. Halaman ini merupakan bagian semi sacral, dimana peziarah disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan melakukan upacara penyucian dengan menggunakan air suci atau amrta. Adanya relief pande besi melambangkan hal ini, karena pada masyarakat Jawa Kuno golongan ini memiliki status khusus yang dianggap mempunyai kekuatan magis yang dapat memberikan air suci atau amrta.

Halaman III

Berbentuk persegi dan merupakan bangunan sakral dimana terdapat bangunan utama dan relief-relief.  Memasuki halaman ini para peziarah telah mencapai kesempurnaan hidup atau terbebas dari mala, suasana pembebasan disimbulkan dengan relief Sudhamala. 


Arkeolog Dr. Riboet Darmosoetopo berpose bersama petugas BPCB Jawa Tengah di Candi Sukuh



Minggu, 24 April 2016

DIENG : TEMPAT BERSEMAYAM PARA DEWA 

Percandian di dataran tinggi Dieng dibangun sekitar abad VII - VIII Masehi. Percandian tersebut adalah kelompok Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Setyaki, Candi Dwarawati dan Candi Gatotkaca. Selain itu juga terdapat peninggalan lain seperti Tuk Bima Lukar dan Dharmasala.

Arsitektur candi - candi di Dieng mengalami perkembangan dari pengaruh India ke arah ciri lokal. Candi Arjuna dan Bima diketahui memiliki gaya India yang kental. Candi-candi lain secara bertahap menunjukkan ciri lokalnya, ditandai dengan perkembangan relung dan menara atap. Gaya lokal Dieng ditemukan di Candi Gatutkaca yang menara atapnya disatukan dengan struktur bangunannya.

Candi Bima adalah satu-satunya candi yang mempunyai kudu, jumlahnya ada 24. Kudu adalah lengkung seperti tapal kuda yang diisi wajah dewa, sebagai lambang face of glory, karenanya kudu ditempatkan di atap candi. Di India, kudu tidak hanya diisi wajah dewa, tetapi juga wajah raksasa, disebut kirtimukha, berfungsi sebagai penolak bala.

Para Petugas BPCB Jawa Tengah di Lokasi Candi Dieng

Senin, 11 April 2016

Judul : Katuran Pinarak ing Candi Bima Dieng
Kiriman Foto : M. Habib (Juru Pelihara BPCB Jateng di Dieng Banjarnegara)