Sabtu, 14 Mei 2016

Ekspresi Merdeka Akhir Pekan


"Ekspresi Merdeka" sebagai sub tema bulan Pendidikan Nasional 2016 "bergema" di beberapa lokasi Cagar Budaya di wilayah Jawa Tengah. Diantaranya dari Pramuka siswa SMP Karanita Magelang di lokasi Candi Selogriyo Kabupaten Magelang, siswa SMP N Kedu di lokasi Candi Gedongsongo Kabupaten Semarang dan Mahasiswa UNDIP di lokasi Candi Cetha Kabupaten Karanganyar. 

Generasi bangsa "Nyalakan Pelita, Terangkan Cita - Cita". 
"Merdeka" dari kebodohan dan jalan terang menuju sebuah cita-cita. 

Merdeka... Merdeka... Merdeka... !


____________________________ dihimpun oleh : wahyukrist
Pokja Publikasi & Pemanfaatan BPCB Jateng

Selasa, 03 Mei 2016

Candi Gunung Wukir

Candi Gunung Wukir


Candi ini terletak di desa Canggal, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang.  Candi Gunung Wukir merupakan candi berlatar agama Hindu yang ditandai dengan adanya Yoni dan arca Nandi. Yoni bersama sebuah Lingga adalah sebagai lambang dewa Siwa. Namun Lingga dimaksud sekarang sudah tidak ada lagi.  Sedangkan arca Nandi  (lembu) adalah wahana dari Dewa Siwa.  

Gunung Wukir terdiri dari tiga candi yaitu candi utama dengan tiga candi di depannya. Yoni terletak di candi Utama, sedangkan arca Nandi terletak pada candi di depannya atau pada candi Wahana. Formasi demikian ditemukan juga di kompleks candi Prambanan.

Menarik untuk diketahui, bahwa di candi ini dahulu pernah ditemukan sebuah  prasasti yang dikenal dengan prasasti Canggal berangka tahun 732 M. Prasasti bertuliskan Sanskrta serta berbahasa Pallawa. Prasasti itu antara lain disebutkan tentang raja Sanjaya yang gagah berani dan berhasil menaklukkan musuh-musuhnya. Ia adalah pengganti pamannya yaitu raja Sanna yang gugur di medan perang. Atas keberhasilannya itu ia kemudian mendirikan sebuah Lingga di atas sebuah bukit. Kemungkinan lokasi yang dimaksud adalah di candi ini. 

Raja Sanjaya yang juga dikenal sebagai Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah anggota dinasti Sailendra yang pernah menguasai Jawa Tengah  dengan kerajaannya  bernama  Mataram (Hindu).  Adapun pendiri  dinasti ini adalah Dapunta Selendra.  Raja-raja terkenal dari dinast ini ialah Sri Maharaja Rakai Panangkaran yang diduga mendirikan candi Borobudur, Mendut, dan Sewu yang semuanya adalah candi berlatar agama Buddha. Selain itu, terdapat raja Sri Maharaja Rakai Pikatan yang mendirikan Candi Prambanan  dan Candi Plaosan .Raja-raja dari dinasti ini pada umumnya memeluk agama yang tidak sama. Satu raja beragama Buddha, tetapi ada pula yang beragama Hindu. Hal ini berdampak banyak ditemukan candi Buddha yang dibangun berdekatan dengan candi Hindu. Rupa-rupanya toleransi kehidupan beragama telah berkembang di Jawa Tengah sejak masa itu. 



   Juru Pelihara BPCB Jawa Tengah di Candi Gunung Wukir




disarikan dari berbagai sumber oleh : 
_____ wahyu kristanto



Minggu, 01 Mei 2016

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2016


Nyalakan Pelita, Terangkan Cita - Cita

Nyalakan Pelita, Terangkan Cita - Cita merupakan tema peringatan Hari Pendidikan Nasional 2016. Peringatan ini salah satunya diawali dengan upacara bersama antara Karyawan BPCB Jawa Tengah dengan siswa didik Sekolah Dasar di Candi Sojiwan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.



Senin, 25 April 2016

SEPUTAR CAGAR BUDAYA JAWA TENGAH

Situs Watu Kandang Matesih :
Awal dari Sebuah Religi


Terletak di Dusun Ngasinan, Desa Karangbangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar. Berada pada posisi 04°14’46” BT dan 07°3’97” LS, pada ketinggian ±500 m dpl di daerah persawahan dan dilewati Sungai Samin serta berada di tepi jalan raya menuju Mangadeg dan Tawangmangu. Di sebelah timur Situs terdapat Gunung Bangun dan Gunung Banoman, sebagaimana diketahui bahwa bangunan peninggalan tradisi Megalitik sebagian besar mengarah ke arah gunung.
Situs Watu Kandang Matesih merupakan bangunan yang berasal dari masa Prasejarah. Para ahli arkeologi berpendapat bahwa Situs Watu Kandang Matesih diperkirakan  berasal dari masa Megalitik Tua dan tetap berkembang hingga abad XII M berdasarkan temuan yang ada. Megalitik merupakan sebuah tradisi yang didasarkan pada kepercayaan adanya kehidupan setelah mati atau adanya hubungan antara orang yang masih hidup dengan yang sudah mati. Pendirian bangunan Megalitik lain dimaksudkan sebagai media penghubung antara roh nenek moyang dengan orang yang masih hidup.

Situs Watu Kandang Matesih berupa bangunan temu gelang (stone enclosure), yaitu sekelompok batu (menhir) yang disusun dalam bentuk formasi temu gelang. Formasi ini oleh penduduk setempat sering disebut dengan istilah watu kandang. Struktur batu temu gelang yang ada di Situs Matesih terdiri dari beberapa variasi bentuk, seperti persegi panjang, oval, dan tidak beraturan. Ukurannya ada yang besar (panjang atau diameter lebih dari 150 cm) dan ada pula yang berukutan kecil (panjang atau diameter kurang dari 150 cm).
Selain struktur berupa bangunan temu gelang, di Situs Matesih juga ditemukan beberapa menhir (batu tegak yang didirikan sebagai lambang arwah nenek moyang) dan tahta batu atau sering pula disebut dengan kursi batu (yaitu bangunan menyerupai kursi terdiri dari bagian sandaran dan alas yang disusun dari lempengan-lempengan batu).

Penelitian

Pada tahun 1967 Drs. Soekatno dari LPPN (sekarang Direktorat Peninggalan Purbakala) melaporkan adanya Situs Ngasinan. Tanggal 23 Desember 1967 LPPN melakukan peninjauan terhadap kebenaran laporan tersebut dan terbukti bahwa laporan tersebut benar dan sejak saat itu dilakukan banyak penelitian terhadap Situs tersebut. Bulan Juli 1968 dilakukan pemetaan, penggambaran, pemotretan, survey dan ekskavasi percobaan oleh LPPN. Bulan Agustus 1969 kembali dilakukan ekskavasi dan ditemukan manik-manik dan pecahan gerabah. Tahun 1977 penelitian kembali dilakukan oleh Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala DIY (sekarang Balai Arkeologi Yogyakarta)dengan hasil fragmen gerabah, manic-manik, fragmen keramik Cina dari abad XII M, arang, dan fragmen besi, dan lempengan emas.


Petugas BPCB Jateng di Situs Watu Kandang Matesih

Candi Sukuh : Simbol Menuju Kesempurnaan

Candi Sukuh : Simbol Menuju Kesempurnaan


Candi Sukuh terletak di Dusun Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Berada di lereng barat Gunung Lawu pada 910m dpl, membuat komplek tersebut memiliki pemandangan indah.



Komplek Candi Sukuh ditemukan kembali pada tahun 1815 oleh Residen Surakarta, Johnson. Van der Vlis pada tahun 1842 melanjutkan studi mengenai Candi Sukuh dan memuatnya dalam sebuah buku berjudul Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto. Tahun 1864-1867 Hoopermans menulis buku berjudul Hindoe Oudheiden van Java. Inventarisasi di Candi Sukuh dilakukan oleh Verboek tahun 1889 dilanjutkan oleh Knebel pada tahun 1910. Peneliti lndonesia yang tertarik pada Komplek Candi Sukuh antara lain Ph. Soebroto, Riboet Darmosutopo, Y. Padmopuspito, dan Harry Truman Simanjuntak. 
Deskripsi Bangunan

Komplek Candi Sukuh didirikan pada abad ke-15 M, pada masa pemerintahan Suhita, ratu Majapahit yang memerintah tahun 1429-1446.  Komplek candi menghadap ke barat dengan susunan halaman terdiri dari tiga teras atau halaman. Ketiga teras tersebut melambangkan tingkatan menuju kesempurnaan. Relief yang terdapat di komplek tersebut juga melambangkan ketiga dunia, yaitu dunia bawah dilambangkan dengan relief Bima Suci; dunia tengah dilambangkan dengan relief Ramayana, Garudeya, dan Sudhamala; dunia atas dilambangkan dengan relief Swargarohanaparwa. Penggambaran ketiga dunia pada relief-relief tersebut menunjukkan tahapan yang harus dilalui manusia untuk mencapai nirwana.

Secara keseluruhan pola halaman dan penggambaran relief merupakan simbol menuju keabadian atau kesempurnaan yang diwujudkan melalui upacara keagamaan atau ruwat, yaitu sebagai sarana untuk menaikkan derajat seseorang kepada tingkatan yang lebih suci, yaitu hilangnya mala dari dalam diri atau moksa. 

Halaman I
Merupakan teras paling bawah, berbentuk persegi dan terdapat gapura masuk. Halaman ini merupakan bagian profan, dimana peziarah diingatkan pada kehidupan yang tidak mudah. Kesulitan dalam hidup disebabkan oleh melekatnya mala dalam diri manusia, pahatan relief Garudeya merupakan salah satu cara mengingatkan betapa sulitnya kehidupan.

Halaman II
Berbentuk huruf  L dan terdapat gapura yang lebih kecil. Halaman ini merupakan bagian semi sacral, dimana peziarah disadarkan untuk menghilangkan kesulitan hidup dengan melakukan upacara penyucian dengan menggunakan air suci atau amrta. Adanya relief pande besi melambangkan hal ini, karena pada masyarakat Jawa Kuno golongan ini memiliki status khusus yang dianggap mempunyai kekuatan magis yang dapat memberikan air suci atau amrta.

Halaman III

Berbentuk persegi dan merupakan bangunan sakral dimana terdapat bangunan utama dan relief-relief.  Memasuki halaman ini para peziarah telah mencapai kesempurnaan hidup atau terbebas dari mala, suasana pembebasan disimbulkan dengan relief Sudhamala. 


Arkeolog Dr. Riboet Darmosoetopo berpose bersama petugas BPCB Jawa Tengah di Candi Sukuh



Minggu, 24 April 2016

DIENG : TEMPAT BERSEMAYAM PARA DEWA 

Percandian di dataran tinggi Dieng dibangun sekitar abad VII - VIII Masehi. Percandian tersebut adalah kelompok Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Setyaki, Candi Dwarawati dan Candi Gatotkaca. Selain itu juga terdapat peninggalan lain seperti Tuk Bima Lukar dan Dharmasala.

Arsitektur candi - candi di Dieng mengalami perkembangan dari pengaruh India ke arah ciri lokal. Candi Arjuna dan Bima diketahui memiliki gaya India yang kental. Candi-candi lain secara bertahap menunjukkan ciri lokalnya, ditandai dengan perkembangan relung dan menara atap. Gaya lokal Dieng ditemukan di Candi Gatutkaca yang menara atapnya disatukan dengan struktur bangunannya.

Candi Bima adalah satu-satunya candi yang mempunyai kudu, jumlahnya ada 24. Kudu adalah lengkung seperti tapal kuda yang diisi wajah dewa, sebagai lambang face of glory, karenanya kudu ditempatkan di atap candi. Di India, kudu tidak hanya diisi wajah dewa, tetapi juga wajah raksasa, disebut kirtimukha, berfungsi sebagai penolak bala.

Para Petugas BPCB Jawa Tengah di Lokasi Candi Dieng

Senin, 11 April 2016

Judul : Katuran Pinarak ing Candi Bima Dieng
Kiriman Foto : M. Habib (Juru Pelihara BPCB Jateng di Dieng Banjarnegara)