Jumat, 26 Juli 2013

PELESTARIAN CAGAR BUDAYA

abstrak


Oleh :
Wahyu Kristanto, S.S.
Pokja Publikasi & Pemanfaatan
Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah


A.    PENDAHULUAN
Pasal 1 Ayat 22 UNDANG - UNDANG RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan bahwa pengertian pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya, dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelestarian dapat berupa pembangunan atau pengembangan dengan melakukan upaya preservasi, restorasi, replikasi, rekonstruksi, rehabilitasi, atau revitalisasi suatu aset masa lalu.
Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian warian budaya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjadi keharusan dan diharapkan menjadi energi baru dalam pelestarian warisan budaya yang selama ini ‘didominasi’ oleh pemerintah. Perlunya pelestarian cagar budaya (baca: warisan budaya yang bersifat kebendaan atau bendawi /r agawi atau berwujud) sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang hal ini tidak terlepas dari arti penting warisan budaya bangsa yaitu sebagai rekaman dasar dan pengikat nilai sekaligus sebagai bukti dari pemikiran dan aktivitas manusia di masa sebelumnya. Sebagai rekaman dasar tentunya warisan budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan menggali ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan serta dapat berdampak pada bidang ekonomi dan pariwisata. Sementara itu ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas, tetapi juga memiliki karakter dan dapat digunakan dalam rangka memperkokoh jati diri bangsa yang berkaitan dengan meningkatknya harkat dan martabat bangsa.


B. PENGERTIAN CAGAR BUDAYA
Pengertian Cagar Budaya dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2010 pasal 1 point 1 dikatakan bahwa “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan”. Ada empat hal penting yang melekat dan menjadi titik penekanan tentang cagar budaya sebagaimana terdapat dalam definisi cagar budaya yaitu warisan budaya yang bersifat kebendaan (tangible), perlu dilestarikan, memiliki nilai penting dan proses penetapan.
Selanjutnya, untuk dapat memahami cagar budaya maka perlu disampaikan  kriteria cagar budaya sebagi berikut :
a.       Berusia 50 tahun atau lebih;
b.      Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun;
c.       memiliki arti khusus bagi sejarah,  ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
d.      memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

C.      PEMANFAATAN CAGAR BUDAYA
Bangsa yang cerdas tentu akan dapat memanfaatkan setiap peluang yang ada dan mengembangkannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Atas dasar inilah maka cagar budaya penting untuk dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana menjadi roh dalam Undang - Undang RI RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Hal baru secara ideologi dari unsur pelestrian berbasis Undang - Undang RI No. 11 Tahun 2010 adalah penambahan unsur ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat setempat tempat cagar budaya berada. Cagar budaya tidak boleh “diotak-atik”, tapi dapat dikembangkan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Cagar budaya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan daerah yang bisa diandalkan.

D.           PELESTARIAN CAGAR BUDAYA
Undang – Undang RI  No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan hasil revisi Undang – Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Adanya revisi ini diharapkan bisa membenahi pelestarian cagar budaya di tanah air. Undang – Undang RI No. 5 tahun 1992 masih bersifat sentral, artinya kewajiban pelestarian cagar budaya masih menjadi kewajiban pemerintah. Namun kini, Undang - Undang RI tersebut telah direvisi melalui Undang - Undang RI nomor 11 tahun 2010 yang mengatur bahwa setiap individu wajib untuk melindungi cagar budaya yang ada. Dengan demikian akan lebih mendorong munculnya partisipasi masyarakat dalam melestarikan cagar budaya.
Pelestarian Cagar Budaya merupakan upaya dinamis mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan.  Adapun tujuan pelestarian Cagar Budaya dapat disampaikan sebagai berikut :
      Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia
      Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya
      Memperkuat kepribadian bangsa
      Meningkatkan kesejahteraan rakyat
      Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional
Pelestarian Cagar Budaya dalam perjalanannya tentunya akan menghadapi ancaman baik yang disebabkan faktor alam dan manusia. Kerusakan yang diakibatkan oleh alam misalnya karena pengaruh cuaca dan juga bencana alam, banjir, tanah lonsor, gempa, letusan gunung berapi dan lain sebagainya. Sedangkan kerusakan dan pelanggaran Cagar Budaya akibat ulah manusia misalnya berupa vandalisme, pencurian dan perusakan.  Pelanggaran terhadap cagar budaya karena ulah manusia tentunya dikenai sanksi sesuai bobot pelanggaran. Undang-undang RI No. 11 Tahun 2010 yang menggantikan Undang - Undang RI No. 5 Tahun 1992 bersifat lebih tegas terhadap mereka yang melakukan pelanggaran terhadap upaya pelestarian cagar budaya. Mereka yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap cagar budaya diganjar pidana kurungan dan atau denda yang masing-masing besaran sanksi hukuman sesuai tingkat pelanggarannya.  


E.       PENUTUP
Melestarikan Cagar Budaya bukan tanggung jawab pemerintah saja melainkan menjadi tanggung jawab SELURUH WARGA NEGARA. Untuk itu, mari bersama melestarikan Cagar Budaya sebagai cermin Jati diri Bangsa untuk meningkatkan harkat martabat bangsa dan kesejahteraan masyarakat !

SELAMAT MELESTARIKAN dan Memanfaatkan CAGAR BUDAYA Untuk Kesejahteraan Masyarakat Indonesia !




RIWAYAT LAHIRNYA LEMBAGA PURBAKALA


Sejarah berdirinya Balai Pelestarian Cagar Budaya dimulai dengan didirikannya lembaga kebudayaan pertama di Indonesia oleh kaum terpelajar di Jakarta dengan nama Bataviaash Genootschap van kunsten en wetenchapen pada tahun 1878.
Tahun 1882, kegiatan kepurbakalaan ditangani oleh Comisie tot het Opsporen Verzamelen en Bewaen van Oudheidkundige Voorwerpen dan mengalami perkembangan pesat dalam bidang penelitian, observasi, penggambaran, ekskavasi, pemeliharaan, pengamanan, pendokumentasian, dan pemugaran bangunan kuno di Indonesia. Selanjutnya, tahun 1885, didirikan lembaga swasta bernama Archeologische Vereeniging yang diketuai oleh Ir J.W ijzerman. Lembaga ini melaksanakan tugas hingga tahun 1902 yang dilanjutkan dengan pendirian Commisise in Nederlandsch-Indie voor Oudheidkundige Onderzoenk op Java en Madoera sebagai badan yang menangani kekunaan di jawa dan Madura diketuai oleh Dr. J.LA. Brandes. Komisi ini berubah menjadi Oudheidkundige Dienst in Nederlansch-indie pada tahun 1913 dipimpin oleh N.J Krom dan dilanjutkan oleh F.D.K Bosch tahun 1926 sampai dengan 1936.
Tahun1931,Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie mengelurakan Undang-undang tentang penanganan peninggalan purbakala, yaitu Monumenten Ordonantie Staatsblad No. 238 Tahun 1931. Dengan adanya undang-undang tersebut, pengawasan dan perlindungan peninggalan purbakala, mempunyai kepastian hukum.
Tahun 1936, nama Oudheidkundige Dienst berubah menjadi Jawatan Purbakala dan dipimpin oleh Dr. W.F. Stutterheim. Beberapa bidang baru dikembangkan, antara lain keramologi, sejarah kesenian, dan arkeologi kimia.

Tanggal 18 Maret 1942, Jepang mengambil alih kekuasaan atas Indonesia dari Belanda, sejak itu pula kantor Jawatan Purbakala diambil alih oleh Jepang dan berubah nama menjadi Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala. Bulan Juli 1947 Kantor Urusan Barang-Barang Purbakala diambil alih oleh Belanda dan dipimpin oleh Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers.
Tahun 1951, nama kantor dari Jawatan Purbakala diganti menjadi Dinas Purbakala dibawah pimpinan putra Indonesia  bernama Drs. R. Soekmono. Di bawah Dinas Purbakala ini muncul Lembaga Peninggalan Purbakala Nasional (LPPN) dan tahun 1975 struktur organisasi LPPN dipecah menjadi dua instansi, yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (Pus.P3N) dan Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP). Tugas DSP adalah melakukan pelindungan benda-benda peninggalan Sejarah dan Purbakala dibawah pimpinan pertama kali Drs. Uka Tjandrasasmita.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.200/O/1978, pada bulan  Juni 1978 lahirlah Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala sebagai Pelaksana Teknis di Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. Selama perjalanan waktu upaya pelindungan benda purbakala maka terbitlah Undang-Undang RI no.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan PP RI No. 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan UU RI No.5 tahun 1992. Undang-undang ini dikeluarkan untuk menggantikan Monumenten Ordonantie Staatsblad No. 238 tahun 1931.
Tanggal 21 Agustus 2002, berdasarkan SK Kepala Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata No.KEP-06/BP Budpar/2002, nama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala mulai dipakai menggantikan Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Kemudian sejalan dengan lahirnya Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pengganti Undang – Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, maka sejak tahun 2012 nama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala berubah menjadi Balai Pelestarian Cagar Budaya dibawah Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tugas pokok dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya menangani masalah kepurbakalaan yang lebih luas yaitu pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya.

Hari Purbakala yang kemudian diperingati setiap tanggal 14 Juni ini didasarkan pada terbentuknya institusi formal yang menangani masalah kepurbakalaan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda yang bernama "Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie" pada tanggal 14 Juni 1913.