Siapa sang arsitek kala itu ?
Keraton Surakarta Hadiningrat
dibangun antara tahun 1743-1746 oleh Susuhunan Pakubuwono II. Setelah selesai
dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini
menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan Pakubuwono
II kepada VOC di tahun 1749 dan setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755,
keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta sampai
dengan tahun 1946.
Pangeran Mangkubumi adalah salah satu arsitek istana ini yang juga
menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, pola dasar tata
ruang antara Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat memiliki kesamaan. Keraton Surakarta yang dapat disaksikan sekarang
ini tidak dibangun secara serentak, namun dibangun secara bertahap dengan
mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya.
Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh
Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar
keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitektur gaya campuran
Jawa-Eropa
Arsitektur Keraton yang mempunyai
ciri keselarasan akulturatif arsitektur kolonial dengan arsitektur tradisional
Jawa sesungguhnya cukup radikal dalam memadukan komposisi ornamen yang
cukup spesifik sebagaimana yang terpasang di atas Kori Sri Manganti. Sebuah
ornamen tiga dimensi dengan kualitas pembuatan yang sangat halus serta
finishing yang baik serta material yang relatif tak lekang oleh waktu, disusun
secara simetris menggambarkan komposisi kewibawaan, keagungan dan kekuatan
pertahanan negeri yang disebut sebagai Lambang Kerajaan Jawa yaitu Sri Makutha
Raja. Teknik pembuatan seni kriya yang mungkin mirip model seni kriya karya perupa
masa kini Sapto Hudoyo yang disebut kolase ini, digarap secara sangat
profesional dan canggih. Cara pembuatan Sri Makutha Raja ini mengkomposisikan
benda-benda seni yang masing-masing telah digarap sebagai benda seni yang
selesai, setelah digabung baru kemudian diawetkan dengan teknologi pengawetan
tertentu.
Kompleks keraton ini juga
dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar
tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini
melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran
lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks
keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kemandungan Lor/Utara sampai
Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks Sitihinggil dan Alun-alun tidak
dilingkungi tembok pertahanan ini.
Menarik perhatian adalah patung-patung Eropa yang menghiasi istana sehingga menghasilkan
kombinasi yang sangat baik antara arsitektur Jawa Kuno dengan sentuhan Eropa.
Patung-patung ini merupakan hadiah dari Belanda yang dulu memang memiliki
hubungan sangat dekat dengan Kasunanan Surakarta. Sebuah menara tinggi di
sebelah selatan pelataran bernama Panggung Songgobuwono menjadi ciri khas
kraton ini.
Keraton Surakarta Hadiningrat adalah sebuah tempat yang
mempunyai makna spiritual yang tinggi. Menurut kepercayaan tradisonal Jawa,
angka 7 merupakan angka yang sempurna. Itulah mengapa Candi Borobudur misalnya,
mempunyai 7 tangga dan 7 gerbang. Begitu juga dengan Keraton Surakarta
Hadiningrat yang mempunyai 7 pelataran dan 7 gerbang. Tujuh
pelataran yang ada di Keraton Surakarta Hadiningrat adalah:
1. Pamuraan Njawi
2. Pamuraan Nglebet
3. Alun-alun Lor
4. Siti Hinggil
5.
Kemandungan
6. Sri Manganti
7. Plataran
Dan
tujuh gerbangnya adalah: 1. Gladag, 2. Gapuro Pamuraan, 3. Kori Wijil, 4. Kori
Brojonolo, 5. Kori Kamandungan, 6. Kori Mangun, 7. Kori Mangarti
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kemadungan mengadung
makna introspeksi diri. Nama Kemandungan sendiri berasal dari kata mandung yang
memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu yang
berarti api dan kundho yang berarti wadah/tempat, sehingga Marcukundho
melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol
Lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol Yoni. Simbol
Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan.
Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan.
Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.
Selain itu keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos
serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang
semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang.
Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam
memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan
itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain
itu ada legenda mengenai usia keraton Surakarta. Ketika istana selesai dibangun
muncul sebuah ramalan bahwa kerajaan Surakarta hanya akan berjaya selama dua
ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan raja hanya akan selebar
mekarnya sebuah payung (Jw: kari sak megare payung). Legenda inipun seakan
mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari
penempatan istana secara resmi pada 1745/1746 maka dua ratus tahun kemudian
pada 1945 Indonesia merdeka kekuasaan Kesunanan benar-benar merosot. Setahun
kemudian pada 1946 Kesunanan Surakarta benar-benar dihapus dan kekuasaan
Susuhunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas kerabat dekatnya saja.